Potensi gangguan terhadap kehidupan sosial ekonomi selalu ada bagi penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana seperti Indonesia. Risiko bencana alam membawa pengaruh negatif terhadap pembangunan, terutama pembangunan ekonomi.
Bencana alam menyusutkan kapasitas produktif dalam skala besar yang berakibat pada kerugian finansial. Karena itu, bencana alam membutuhkan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi agar kehidupan ekonomi kembali normal. Tetapi, semua ini memiliki konsekuensi pembiayaan yang sering melebihi kemampuan ekonomi daerah yang terlanda bencana. Kebutuhan biaya sosial ekonomi yang besar buat rehabilitasi dan rekonstruksi menelan hasil-hasil pembangunan.
Laporan Asia Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (UN-ESCAP) dan UN-ISDR menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik, termasuk di dalamnya Indonesia, menghasilkan seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Namun, dalam 30 tahun terakhir ini 85 persen dari kematian dan 38 persen kerugian ekonomi global yang diakibatkan oleh bencana alam juga terjadi di kawasan ini. Sementara itu, Global Assessment Report (GAR 2011) memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai 1 persen dari PDB, atau setara dengan kerugian yang dialami oleh negara-negara yang mengalami krisis keuangan global pada tahun 1980 dan 1990-an.
Bagi Indonesia hal tersebut sangat terasa dari dampak bencana. Besarnya kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana sangat besar. Tsunami Aceh (2004) menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp 39 triliun. Berturut-turut gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 (Rp 27 triliun), banjir Jakarta tahun 2007 (Rp4,8 triliun), gempa bumi Sumbar tahun 2009 (Rp 21,6 triliun), dan erupsi Merapi tahun 2010 di luar dari dampak lahar dingin sebesar Rp3,56 triliun. Sebuah angka yang sangat besar.
Bandingkan dengan kebutuhan untuk membangun Jembatan Suramadu sekitar Rp 4,5 triliun dan kebutuhan JORR Tahap II sepanjang 122,6 km sebanyak Rp 5 triliun. Artinya, dampak bencana tersebut dapat menurunkan laju pembangunan.
Dampak fiskal bencana secara nasional memang tergolong kecil. Sebagai misal, tsunami Aceh tahun 2004 hanya 0,3 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) Indonesia. Namun persentase tersebut sangat kecil di tingkat daerah yaitu mencapai 45 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB). Begitu pula gempa bumi Yogyakarta mencapai 41 persen dan gempa bumi Sumatera Barat sebesar 30 persen dari PDRB. Tentu saja hal ini sangat berat jika dibebankan kepada daerah. Dalam kondisi normal, tidak ada bencana saja, saat ini banyak daerah-daerah di Indonesia yang defisit. Apalagi, terkena bencana dan harus memulihkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat sangat diperlukan untuk membantu pendanaannya. Dan, dalam kenyataannya hampir 90 persen lebih sumber dananya memang dari pemerintah pusat.
Sementara itu kemampuan pemerintah mengalokasikan dana cadangan penanggulangan bencana setiap tahun hanya sekitar Rp 4 triliun. Dana tersebut digunakan untuk mengatasi semua bencana besar maupun kecil yang terjadi di seluruh Indonesia. Sudah barang tentu mengingat pentingnya penggunaan dana untuk penanggulangan bencana, alokasi dana tersebut perlu ditambah. Atau, perlu dikembangkan suatu mekanisme sistem pendanaan pasca bencana, seperti misalnya, asuransi bencana yang preminya ditanggung pemerintah.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar