tablOi - "Pagelaran Kantata Takwa ini untuk meng-counter musik-musik heavymetal," tegas Setiawan Djodi. "Saya malah mengkuatirkan sikap sebagian penonton," timpal Rendra. Memangnya ada apa sih di Pagelaran Kantata Takwa yang sukses di Surabaya itu ?
Rendra memang pujangga ulung. Tambahan ia kini tercatat pula sebagai anggota kelompok Kantata Takwa. Tapi toh bisa saja Rendra belum paham arti dari tiga jari (jempol, telunjuk, dan kelingking) yang diacungkan bareng.
Menurut Rendra, itulah salah satu simbol dari iblis. Padahal gaya semacam itu yang kerap dilakukan sebagian penonton terutama pada pagelaran heavymetal – tak lebih pengungkapan dari 'I Love You' alias 'Saya Cinta Kamu'. Detilnya: Jari kelingking menyimbolkan I, gabungan telunjuk dan jempol untuk 'L', dan gabungan ketiganya untuk 'Y'.
"Saya mengkuatirkan aksi penonton kayak gitu. Belum lagi spanduk atau poster bertulisan Hell Devils atau semacamnya yang diusung-usung beberapa penonton," kata Rendra di hadapan sejumlah wartawan di Hotel Garden Palace Surabaya, 12 Agustus lalu.
Tak cuma Rendra, Setiawan Djodi yang juga hadir (mengenakan kopiah segala) malah mengatakan, "Pagelaran (Kantata Takwa) ini buat meng-counter (menghadapi Red) pagelaran musik rock, metal yang dekat dengan Satanisme," tukasnya.
Sore itu, Rendra dan Djodi juga menghadirkan K.H. Yusuf Hasyim, ulama besar dari Pesantren Tebu Ireng. Dengan tangkas Pak Kiai menjawab pertanyaan wartawan yang berkisar soal pagelaran Kantata Takwa dengan ajaran agama. "Menyebut nama Allah dengan diiringi musik, boleh saja. Lihat saja macam pada gambus. Nah, kali ini kan dengan band," ujar Pak Kiai.
Iwan Fals, Jockie Suryoprayogo, dan Sawung Jabo, tiga personil Kantata lainnya tak hadir. Tapi acara yang dimaksud sebagai diskusi itu bisa jadi lebih 'menarik' ketimbang pagelaran Kantata Takwanya sendiri yang diusung dua malam berturut-turut (11 & 12 Agustus), di Stadion Tambaksari, Surabaya.
Paling tidak, isi 'perut dan pikiran dari Kantata Takwa agak terbuka. Agak terlihat arah dan maunya jalan yang ditempuh. Paling tidak, mereka punya niatan tak sekadar bermusik. Ada pesan-pesan relijius yang ingin disodorkan.
Tapi, memang pagelaran Kantata Takwa hingga saat ini masih yang 'ter' di pentas musik. Dari megahnya panggung, tata cahaya, sampai jumlah penonton yang tergaet.
Sebut saja pagelaran perdana di Stadion Gelora Senayan yang berhasil mengumpulkan sekitar 100.000 penonton. Dan dua kali show di Stadion Tambaksari Surabaya ini pun tak kurang 80.000 penonton yang tergaet.
ORANG-ORANG KALAH
Begitu lepas Magrib (18.30 waktu Surabaya), panggung dibuka lewat pembacaan ayat suci, Al Fatihah. Maka bunyi mendengung – bagai suara sejuta lebah – menggulung stadion. Dan gampang ditebak, itulah suara hampir semua penonton – terutama yang berada di depan panggung – turut mengaji. Allahuakbar !.
Seusai Rendra membacakan Doa, puisi yang karya Chairil Anwar itu, tembang Kantata Takwa diluncurkan. Suasana berbau relijius mengambang di atas panggung. Apalagi dengan dikumandangkannya ayat Qursi. Allahuakbar !.
Iwan Fals yang bertelanjang dada dengan ikat kepala memang masih jadi sentral. Kendati ia toh berusaha membagi peran kepada teman-temannya macam Sawung Jabo, Jockie Suryoprayogo, dan tentunya Setiawan Djodi. Di belakang mereka hadir di antaranya Embong Rahardjo (flute, saksofon), Naniel (flute, perkusi), Inisisri (drum), Raidy Noor (keyboards), Nanu (bas), dan Donny Fattah (bas).
Sementara, meski dengan jumlah personil yang lebih ketika sedikit dibanding show di jakarta, kelompok paduan suara Trisakti tetap musti diperhitungkan. Paling tidak bareng gerak tari dari beberapa anggota Bengkel Teater, mereka berhasil menghadirkan suasana teatrikal.
Berturut-turut Paman Doblang, Rajawali, dan Hio dikumandangkan. Dan aplus penonton makin meriah begitu intro tembang Bongkar diluncurkan. "Kalau cinta sudah dibuang ....." celoteh Iwan Fals. Dan bait-bait selanjutnya bernyanyilah ia bareng penonton, termasuk juga dengan beberapa petugas keamanan (meski malu-malu buka mulut).
Suasana meriah makin hangat begitu lagu Badut yang diawali dengan celoteh Sawung Jabo dinyanyikan. Sederet papan bertulisan 'Koran', 'Boss', 'TV', 'SDSB', sampai 'Parpol' diusung mondar-mandir di atas panggung. Mungkin, kata-kata ini dimaksud jadi ilustrasi dari lirik tembang Badut. Walah toh masih dibutuhkan keterangan tambahan agar bisa selaras dengan maksud yang dikandung. Hingga penonton tak hanya menangkap kritik pada kulit arinya saja.
Sebut saja pada lirik tembang Orang-Orang Kalah yang diluncurkan setelah Mata Dewa. Memang tersurat di situ, betapa derasnya arus pembangunan bisa menghanyutkan sebagian orang, dengan sebagian lagi yang berhasil selamat sampai di tepi. Yang kemudian lahir dengan nama Bento (jadi urutan tembang ke 12).
Mau dibilang apa, salah satu perangsang hingga membludaknya penonton pada pagelaran ini memang dipasangnya sosok Iwan Fals yang belakangan makin jadi 'pembela orang-orang kalah'. Sementara suguhan kolosal pagelaran dan murahnya harga tiket (Rp.2.500) cuma jadi pelengkap.
Karena juga lagu dan musik yang diusung Kantata Takwa ini tak lebih dari simbol-simbol. Yang muncul dari pikiran atas atau bawah sadar para personilnya. Yang maunya, sekali lagi, tak hanya bermusik, berkesenian.
Tapi haruskah semua itu diteriakkan dengan 'amarah'. Hingga (seperti diutarakan Setiawan Djodi) ingin agar remaja berhati-hati terhadap musik heavymetal segala. Mengapa harus mempertentangkan corak musik yang sesama kesenian. Mengapa musti meributkan simbol-simbol duniawi yang kebenarannya cuma mutlak bisa diputuskan olehNYA. Allahuakbar ! (iwan iskandar)
(Sumber : Majalah HAI 35/XIV 28 (hal. 10–13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar