Kita semua kenal beliau. Dari pengamen di pinggir jalan, dari pendemo di alun-alun, dari nyanyian lembutnya di kaset dan radio. Kita semua hafal setidaknya satu-dua lagunya. Entah lagu tentang anak kecil yang berkelahi dengan waktu, tentang kelahiran yang disambut naiknya harga BBM, atau tentang pengusaha tamak, melawan penindasan, dan pesawat tempur. Kita semua tumbuh dewasa mendengar suaranya, petikan gitarnya, wejangannya.
“Mungkin saat itu jodoh saja.” Tuturnya. “Umur saya masih muda, baru lulus kuliah, ada teman-teman yang demo dan ditangkapi. Saya ingin bersuara. Ingin menyanyi tentang apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan. Lantas tiba-tiba berkembang begitu saja.”
Iwan Fals menjabat tangan saya erat-erat dan tersenyum lebar. Ia baru selesai latihan di studio rumahnya, mempersiapkan 15-20 lagu untuk konser yang biasanya berlangsung lebih dari dua jam. Percakapan kami sempat tertunda selagi menunggu beliau rehat dan sembahyang. “Besok pagi berangkat lagi, mas.” Ungkapnya. “Konser.”
Saya mengangguk. “Masih kuat, mas?”
Ia tergelak. “Dijalani saja.”
Leuwinanggung mendung berat sore itu. Masih ada waktu untuk mengobrol panjang sebelum Maghrib tiba. Iwan bersandar di kursi dan membersihkan sisa air wudhu dari kerah bajunya. “Kita ngobrol santai saja, ya?” Ucapnya. “Sambil ngopi, mengalir saja.” Tak ada yang berani membantah. Ia manusia setengah dewa.
----
Iwan lahir di Jakarta, 3 September 1961. Bapaknya seorang kolonel, Ibunya pekerja sosial. Keluarga kecil itu sempat tinggal di Arab Saudi, sebelum akhirnya menetap lama di Bandung. Di sanalah Iwan muda mulai bermusik. Ia mengamen di jalanan Bandung untuk melatih kemampuannya mengarang lagu, dan menajamkan kepekaan sosialnya.
“Orang tua saya cukup membuka pikiran dan hatinya untuk saya berekspresi.” Kenang Iwan. “Jadi, enggak ada rasa takut tentang apapun. Mereka cuma bilang ke saya, ‘Yang penting kamu jangan melanggar hukum.’” Selebihnya, terang Iwan, ia dibebaskan untuk bersuara, berpikir, dan beropini. Perangai yang terbilang langka bagi keluarga di zaman itu.
Sekitar tahun 1984, ia berkenalan dengan penyair W.S Rendra. “Saya dikasih tahu: rupanya ada hukum alam, hukum sosial, dan hukum diri sendiri. Dia mengingatkan saya, ‘kalau lo langgar hukum alam, akan ada bencana alam. Kalau lo langgar hukum sosial, lo dipenjara. Kalau lo melanggar hukum diri sendiri, lo sakit.’” Wejangan Rendra membuat Iwan teringat pada nasihat orang tuanya. Rupanya, tiga prinsip itulah ‘hukum’ yang mereka maksud.
“Kalau saya lupa, saya kembali ke situ.” Tutur Iwan. “Saya ingat-ingat lagi. Prinsip itu yang menolong saya juga. Ada sesuatu yang bisa jadi acuan.”
----
“Sebenarnya, keyakinan saya sederhana.” Ucap Iwan. Ia mengingatkan saya tentang tiga hukum yang dituturkan Rendra, lantas geleng-geleng kepala. “Tapi, begitu saya nonton televisi, baca koran, dengar cerita teman... Kok susah, ya, menerapkannya?”
“Mungkin itu makna dari hidup.” Lanjutnya. “Memperjuangkan hal-hal yang sederhana.”
Iwan tersentak dari lamunannya. Ia kembali mempersilakan saya mencicipi tape goreng yang masih hangat di balik tudung saji. Saya mengangguk dengan sungkan, dan menunggu beliau lanjut berbicara.
“Begitu saya lihat berita di mana-mana, saya juga bingung. Saya harus bagaimana? Akhirnya jadi syair, jadi lagu.” Tuturnya. “Meminjam istilah Rendra, saya harap lagu itu menginspirasi daya hidup. Toh, mau bagaimanapun juga, kematian sudah pasti. Kita tinggal bicara tentang kehidupan ini.” Menulis lagu, baginya, adalah cara melawan perasaan putus asa. Bagi dirinya sendiri, dan siapapun yang kebetulan mendengar.
“Yang penting, bagaimana kita hidup dan menginspirasi orang tanpa dia sadar kalau kita sedang memberi inspirasi pada dia.” Lanjut Iwan. “Supaya harmonis saja, supaya ada keseimbangan. Tidak ada pretensi apa-apa.”
----
Belakangan ini, tuturnya, ia belajar banyak. Ia sempat mencoba memecahkan batu bersama pekerja yang membangun jalan di dekat rumahnya. Iwan terkekeh mengenang pengalaman itu. “Saya jadi ingat cerita Sisyphus,” kisah Iwan. “Dia orang yang mendorong batu sampai ke atas gunung, dan batu itu langsung jatuh lagi ke bawah. Tapi, dia harus mengulang dan angkat batu itu lagi.”
Kisah yang dipopulerkan lagi oleh filsuf Albert Camus itu membuat Iwan terhenyak. “Proses kreatif juga seperti itu.” Terangnya. “Saya bikin beratus-ratus lagu, dan dari dulu sampai sekarang masih do-re-mi juga. Tapi, saya bikin lagi!” Iwan tertawa terbahak-bahak. “Apa bedanya sama Sisyphus? Apa bedanya sama orang yang mecahin batu dan bikin jalan? Apa bedanya sama orang yang bertani, panen, lalu harus bertani lagi?”
Semua orang menjalani siklusnya masing-masing. “Kapan selesainya? Tentu kalau ajal sudah tiba.” Ucap Iwan. “Selama itu belum terjadi, enggak ada urusannya kita menyerah. Kalau harus diguling lagi batu itu dari bawah, maka angkatlah. Itu yang harus dilakukan. Karena kita punya anak, kita punya keluarga. Kalau kita loyo, mau bagaimana?”
“Meminjam istilah Rendra, daya mati sama kuatnya dengan daya hidup.” Lanjut Iwan. “Orang yang berpikiran berbeda akan bilang, ‘Buat apa gue ambil batu lagi? Percuma.’ Ya sudah, selesai saja hidup dia. Dia tidak perlu angkat batu lagi. Tapi dia habis. Dia pengecut.”
Tahun ini, Iwan akan berusia 56 tahun. Meski ia masih mengajar karate setiap pekan, ia mengaku tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Ia sudah tak bisa salto, tak bisa mencium lutut. Ia juga kian akrab dengan sakit pinggang, encok, dan masuk angin. “Mensyukuri usia 56 tahun ini tantangan bagi saya.” Ucapnya sembari terkekeh.
Apabila ia tak bisa bersyukur, ujar Iwan, tak ada gunanya lagi hidup. Ia berpura-pura mengambil pistol dan menarik pelatuk imajiner itu di samping kepalanya sendiri.
bersambung bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar