Daya Hidup Iwan Fals (Bagian 2)
Galang Rambu Anarki, anak pertama Iwan, punya tokoh favorit bernama Gringgrong. Tokoh imajiner itu adalah “seorang jagoan ‘kayak Tarzan’ yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh.”
Pada tanggal 24 April 1997, Galang pulang ke rumah sekitar pukul 11 malam setelah latihan band. Ia pamit tidur, masuk ke kamarnya, dan ditemukan meninggal dunia lima jam kemudian. Pada Andreas Harsono, Iwan mengaku bahwa meninggalnya Galang “menjadi ‘api’ buat dirinya dalam bermusik.”
Harsono menulis: “Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, ‘Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum... Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum...’”
----
Pada tahun 1981, ia dikontrak label besar Musica Studios dan melepas album Sarjana Muda. Lagu andalan album tersebut, nomor country berjudul Oemar Bakri, berkisah tentang pegawai negeri yang gajinya “seperti dikebiri.” Setahun kemudian, kelahiran Galang disambut dengan kenaikan harga bahan bakar. Lantas, Iwan merilis lagu folk murung berjudul sama di album Opini, dan ia mulai dikenal sebagai penyanyi yang kritis.
Namun, meski Iwan menerima julukan tersebut dengan lapang dada, ia sendiri mengaku tak pernah berusaha menjadi penyanyi yang politis. “Saya enggak punya niatan untuk mengkritik juga.” Tuturnya. “Selama di zaman Orde Baru, saya cuma merasa bosan. Apa enggak ada orang lain di Indonesia yang bisa jadi pemimpin kecuali Soeharto? Tapi, sama sekali enggak ada kebencian. Sebagai musisi, tugas saya cuma curhat. Yang penting saya mengeluarkan apa yang ada – tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-kurangi.” Baginya, bernyanyi tentang cinta dan kehidupan sama sahnya dengan bernyanyi tentang ketidakadilan.
“Tapi, saya bisa bertanya balik: apa ada orang yang lepas dari politik?” tanyanya. “Saya memang tidak suka melihat orang ditindas, karena saya sendiri tidak mau ditindas. Sekarang, siapa yang tidak tersentuh kalau melihat ketidakadilan? Mana ada orang yang bercita-cita menjadi blangsak, menjadi bajingan?” Ia menghela nafas panjang dan menggaruk-garuk telapak tangannya. “Saya juga enggak tahu apakah pikiran saya benar atau salah. Tapi, ini negeri bebas. Ini negeri hukum. Saya bebas bersuara.”
Suaranya semakin lantang di Senayan, tanggal 23 Juni 1990. Saat itu, Iwan bergabung dalam kelompok bernama Kantata Takwa – sebuah supergroup beranggotakan Iwan, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, Setiawan Djody, dan banyak musisi kelas kakap lain. Sebelumnya, sebagian dari kelompok tersebut sempat merilis album Swami I yang menghasilkan dua lagu klasik: Bento dan Bongkar. Hingga kini, dua lagu itu masih dikenang sebagai titik puncak perlawanan politiknya.
Ketika Indonesia dipimpin oleh diktator dan tentara sibuk membantai rakyatnya sendiri, Iwan memimpin lebih dari 100 ribu orang dalam koor massal: “O o ya, o ya, o ya, bongkar!”
----
Tak sedikit yang berpendapat bahwa Iwan seolah kehilangan taji-nya setelah Reformasi. Ia tak lagi kritis, katanya, tak lagi galak dan berani. Ia menua dan melunak. Lagu-lagu tentang politik dan ketidakadilan seolah digantikan lagu-lagu cinta. Ia lebih banyak merenung, lebih sedikit berorasi. Sebagian merasa waktunya sudah habis.
Iwan tersenyum simpul saat saya menyampaikan pendapat ini. “Setelah Soeharto turun, kita gonjang-ganjing terus.” Ucapnya. “Diskusi politiknya semakin seram. Kamu lihat saja acara-acara debat dan wawancara politik di televisi. Dulu, enggak ada yang kayak begitu. Saya walau suka mengkritik, enggak pernah tuh menuding.”
“Dan hiburan sudah luar biasa,” lanjut Iwan. “Olahraga ekstrim, sepeda gunung, bungee jumping. Pas zaman Bento, ekspresi orang belum segitunya. Saat itu lebih sederhana: orang dengar lagu, lantas ada pelepasan. Sekarang, lagu kayak Bongkar sudah banyak. Lo dengerin saja omongan orang-orang di jalanan.”
Ia menatap saya lekat-lekat dan melanjutkan. “Apakah sekarang kita perlu lagu yang lebih ‘ganas’ dari Bongkar? Saya juga enggak tahu.” Tuturnya. “Tapi, dia harus memberi pelepasan dan adrenalin yang sama dengan bungee jumping, sepeda gunung, dan olahraga ekstrim. Sama dengan diskusi politik di televisi. Sekarang ini, kalau kita tidak menjawab adrenalin massa, orang bakal bilang lo basi. Apakah kita harus jauh lebih gila lagi, supaya bisa menyedot perhatian mereka?”
Namun, ia mengaku bahwa ia sendiri kerap diminta membuat lagu baru yang ‘keras’. “Banyak yang bilang, ‘Ini zaman orang lagi marah-marah, harusnya lo lebih galak lagi, dong!’ Tapi, saya juga punya sikap. Kalau sekadar untuk aksi dan reaksi, buat apa?”
Lebih jauh lagi, ia merasa tema-tema yang diangkat di lagu seperti Bento dan Bongkar masih relevan hingga kini. “Ceritanya masih sama.” Lanjut Iwan. “Masih tentang Bento, masih tentang wakil rakyat, masih tentang mimpi yang terbeli. Kita masih bisa membicarakan itu. Lantas, mesti dibikin apa lagi? Saya tidak mau terjebak di situ. Lebih baik saya tarik nafas saja.”
Ia tersenyum lebar, seolah-olah baru saja melepas beban berat. “Saya masih percaya pada ketenangan.” Tuturnya. “Itu sumber kekuatan.”
----
Ketika ia merekam album terbarunya, SATU, ia sempat berbeda pendapat dengan produsernya, Steve Lilywhite. “Dia bertanya pada saya, ‘Apa yang penting dibicarakan sekarang?’” kisah Iwan. “Dia bilang, kita harus mengangkat soal peralihan kekuasaan, soal Presiden baru, soal protes. Tapi saya jawab, enggak begitu. Cinta tetap penting. Harmoni, daya hidup, itu yang penting.”
“Bukan politik?” tanya saya.
Iwan menggeleng. “Saya merasa seperti melempar garam di lautan.” Tuturnya. “Buat apa? Semua orang juga sudah ngomongin itu. Memang, politik itu penting. Tapi, ada lagi yang lebih penting. Pikiran baik lebih penting. Cinta lebih penting.”
Album kolaboratif dengan musisi-musisi besar seperti NOAH, Geisha, dan d’Masiv itu dirilis tahun 2015 dan sukses – walau Iwan sendiri mengaku tak menyadari kesuksesan album tersebut. “Saya dapat kabar, video klip lagu saya ramai.” Kisahnya sembari terkekeh. “Tapi, saya enggak lihat di TV. Rupanya sekarang lebih banyak di Youtube, ya?”
Saya mengangguk. Tahun lalu, ia merekam ulang lagu Manusia Setengah Dewa dengan dua musisi asal Afrika Selatan – Simphiwe Dana dan Yasiin Bey. “Saya malah belum pernah ketemu mereka.” Ujar Iwan. “Semuanya lewat email. Canggih, kan?”
----
“Musik itu penggalan waktu. Dan dalam waktu, kita bermain. Kita isi dengan kebaikan, kita isi dengan kejahatan. Ambisi saya sekarang adalah menghayati jalannya waktu.
“Bisa saja saya menghilang. Enggak ada di TV, enggak kelihatan. Tapi, percayalah: saya masih ada di musik. Saya enggak akan meninggalkan musik. Musik sudah terlalu banyak memberi bagi saya. Saya tidak mungkin mengkhianati itu. Bentuknya bisa macam-macam. Tapi, soal yang hakiki...”
Adzan Maghrib memecah percakapan kami. Iwan menengadah dan mengangguk. Saya paham – ia meminta saya secara halus untuk menyelesaikan wawancara. “Untuk apa saya konser, apabila saya harus mengkhianati nurani saya? Mending saya masak di rumah, nulis, melukis.”
Ia terdiam lama. “Jadi, memang... Saya semakin tenang belakangan ini.”
----
Keesokan harinya setelah wawancara kami, Iwan berangkat pagi-pagi buta ke Palembang untuk melanjutkan tur. Ia melatih 15-20 lagu yang sama, berangkat dengan orang-orang yang sama, dan merajai panggung seperti biasa.
Seperti Sisyphus, ia harus rela melihat batu yang ia dorong ke puncak gunung menggelinding lagi ke bawah. Seperti Sisyphus, ia harus rela memulai lagi dari awal, seolah-olah semua itu hal yang lumrah dan hakiki. Seperti Sisyphus, ia harus belajar menerima dan hidup apa adanya. Pada akhirnya, daya hidup harus menang dari daya mati. (*)
Sebelumnya bagian 1
* Daya Hidup Iwan Fals
- Raka Ibrahim *
(Sumber : Ruang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar