Jumlah penganguran usia muda (youth unemployment) di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sampai Februari 2012 masih mencapai 6,32 persen (7,2 juta orang), turun dibandingkan Februari 2011 sebesar 6,8 persen. Sekitar 50 persen lebih (4,2 juta orang) dari total pengangguran terbuka tersebut diisi oleh usia muda.
Persentase pengangguran usia muda Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata persentase pengangguran muda di Asia Tenggara dan dunia. Tahun 2009 saja, persentase pengangguran muda di Indonesia mencapai 22,2 persen, sementara rata-rata pengangguran usia muda di Asia Pasifik hanya 13,9 persen dan dunia 12,8 persen.
Kondisi pengangguran usia muda di Indonesia kian memprihatinkan karena sudah mengenai lulusan pendidikan tinggi, dimana tren juga cenderung menunjukkan peningkatan. Data BPS menunjukkan pengangguran lulusan pendidikan tinggi berkontribusi sebesar 20 persen terhadap total pengangguran terbuka.
Pada Februari 2012, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang (49,21 persen), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,1 juta orang (2,77 persen) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,2 juta orang (6,43 persen).
Dari data data tersebut diatas menunjukkan bahwa masalah pengangguran, terutama pengangguran terdidik ternyata masih menjadi masalah serius. Setidaknya mindset generasi muda terdidik sebagian besar masih menjadi pencari kerja, dengan cita cita menjadi professional di dunia kerja.
Padahal sejak diluncurkan Gerakan Wirausaha Nasional Febuari 2011 lalu oleh Presiden SBY, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan kini sudah ada 55,53 juta UMKM dan 54 juta lebih diantaranya adalah usaha mikro. Sayangnya dunia usaha kita terbesar masih bersifat informal dan hanya menampung untuk dirinya sendiri atau hanya menambah satu orang lain. Sehingga tidak menampung generasi muda terdidik.
Setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan yakni menumbuhkan minat kewirausahaan generasi muda, khususnya generasi muda terdidik dan memperbesar kegiatan UMKM yang sudah ada menjadi kegiatan inovatif yang bersifat formal atau bankable sehingga bisa menampung tenaga kerja lebih banyak.
Seiring dengan perkembangan ekonomi yang terus tumbuh dan perkembangan internet yang kian maju, memberikan peluang bagi generasi muda untuk mengembangkan kegiatan bisnis. Survey dari Reynolds & White (1997) yang menunjukkan bahwa kewirausahaan telah menjadi gaya hidup dan karir bagi banyak orang, juga terjadi di Indonesia. Survey itu menyebutkan sebanyak 4%, atau 1 diantara 25 orang dewasa, berusaha mendirikan perusahaan baru.
Berdasarkan data hasil penelitian Global Entrepreneurship Monitor (GEM), pada tahun 2006, di Indonesia terdapat 19,3% penduduk berusia 18-64 tahun yang terlibat dalam pengembangan bisnis baru (usia bisnis kurang dari 42 bulan). Angka ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Filipina (20,4 persen), dan di atas Cina (16,2%) serta Singapura (4,9%).
Dengan data-data tersebut menunjukkan bahwa kegiatan berwirausaha sudah mulai tumbuh dan berkembang. Untuk itu, diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung bagi kegiatan berwirausaha. Sarana yang paling tepat adalah melalui dunia pendidikan formal. Perlu lebih banyak wirausahawan di Indonesia yang dilahirkan dengan didorong oleh visi dan inovasi melalui dunia pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Karakter dan ketrampilan kreatif serta sikap mandiri dan pro-aktif harus mewarnai semua kegiatan pembelajaran.
Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan harus dimulai sejak dini. Untuk itu dibutuhkan kurikulum pendidikan yang mengakomodir peran kewirausahaan. Secara teoritis ada beberapa cara untuk menumbuhkan kewirausahaan melalui pendidikan, yakni metode narasi/cerita (story telling) dan metode pelatihan pembentukan perusahaan dikalangan siswa (student company).
Menurut Michael Lounsbury and Mary Ann Glynn dalam Cultural Entrepreneurship: Stories, Legitimacy, and the Acquisition of Resources (2001) proses penceritaan (story telling) memegang peranan penting dalam pembentukan budaya kewirausahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan cerita sebagai medium penyampaian nilai-nilai kewirausahaan. Sebuah cerita mampu berperan sebagai alat akumulasi modal sosial. Cerita dapat menjadi jembatan tentang sebuah cita-cita. Kondisi yang ideal. Ketika seorang anak mendengar sebuah cerita, imajinasinya terbang. Terbayang tentang hal-hal yang ada disebuah cerita.
Cerita bisa menjadi role model inspiration (suri tauladan) bagi seorang wirausahawan baru yang masih bingung akan apa yang harus dilakukan. Sekolah bisa mengundang tokoh pebisnis untuk memberikan motivasi dan memberikan mindset berwirausaha. Melalui penceritaan, maka mata siswa akan terbuka.
Sukses didunia professional bukan berarti harus menjadi dokter, insinyur, atau tenaga ahli. Tapi bisa juga dengan mendirikan perusahaan sendiri. Mereka akan sadar akan pentingnya soft skill. Mereka akan mengerti, kesuksesan seseorang tidak ditentukan dari ijazah yang ia miliki. Seorang yang gagal dalam pendidikan formal masih bisa meraih kesuksesan finansial.
Metode yang lain adalah melalui pendirian perusahaan siswa (student company). Jika kita lihat, sekolah sekolah di kota besar baru mengajarkan tentang pasar dan berjualan kepada siswa siswa seperti menjadikan hari hari tertentu sebagai market day, dimana pada hari itu, anak anak kelas tertentu berjualan. Kegiatan seperti ini bisa dikembangkan lagi dengan kegiatan produksi melalui pendirian perusahaan/bisnis. Saatnya siswa diajak untuk melakukan “simulasi” dengan mendirikan perusahaan siswa (student company). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, antara 5 sampai 10 orang. Mereka lalu mendapat pelatihan tentang perencanaan bisnis.
Mereka lalu diberi “project” untuk mendirikan perusahaan. Perusahaan apa saja. Bergerak dibidang apa saja. Baik memproduksi barang/jasa, atau hanya perusahaan dagang. Bukankah Microsoft berawal dari “perusahaan siswa” saat Bill Gates masih kuliah?
Tujuan dari kegiatan pembentukan perusahaan siswa adalah melatih dan mengembangkan jiwa kewirausahaan. Karena lewat perusahaan siswa, peserta didik dilatih untuk menemukan peluang, mengatur organisasi bisnis, dan mengeksekusi peluang itu.
Untuk menumbuhkan minat berwirausaha, pemerintah bisa mendorong program Corporate Sosial Responsibility (CSR) BUMN bagi program kewirausahaan (enterprenuership) yang ditujukan bagi kaum muda, khususnya di daerah-daerah yang aksesnya terbatas. Memberikan pemberdayaan bagi kaum muda, sehingga dapat merangsang kreatifitas untuk menciptakan sesuatu yang memberi nilai tambah.
Komunikasi dan kerjasama dunia pendidikan atau perguruan tinggi dengan dunia bisnis atau perusahaan perusahaan juga sangat efektif memberikan nilai tambah bagi generasi muda untuk memulai kegiatan bisnis selain memberikan nilai tambah ketika masuk ke pasar tenaga kerja
(Aunur Rofiq - Pembina Oi Pusat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar